Tuesday, July 7, 2015

Acara Yudisium Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia.

 Auditorium Pascasarjana Universitas Udayana, Bali

 Peserta Yudisium Pascasarjana Universitas Udayana

 Kanom, S.Pd., M.Par.

 Photo Bersama Peserta Yudisium dari Program Studi: Magister Kajian Pariwisata
( dari kiri ke kanan Anom HS, SST.Par., M.Par., Krisna, M.Par., Budiyasa, M.Par, Rafael, SS., M.Par., bu' Dewa A.Par., M.Par, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., (Kaprodi S2 Pariwisata) bu' Sri, S.Kom., M.Par., Ramang SS., M.Par., dan Kanom, S.Pd., M.Par) 

 Kanom, S.Pd., M.Par.

 Suasana Yudisium

 (dari kiri ke kanan Kanom, S.Pd., M.Par. 
Rafael, SS., M.Par., Anom Heri Suasapha, SST.Par., M.Par., dan Ramang SS., M.Par., )
 


 (dari kiri ke kanan Kanom, S.Pd., M.Par. 
Rafael, SS., M.Par., Anom Heri Suasapha, SST.Par., M.Par., dan Ramang SS., M.Par., )


  Kanom, S.Pd., M.Par.

 Kanom, S.Pd., M.Par. (Kiri) dan  Anom Heri Suasapha, SST.Par., M.Par. (Kanan)

Penyematan dan Penyerahan Transkrip Akademik Kepada Kanom, S.Pd., M.Par., oleh Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana ( Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) dan Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana (Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt).

Saturday, April 18, 2015

STRATEGI PENGEMBANGAN KUTA LOMBOK SEBAGAI DESTINASI PARIWISATA BERKELANJUTAN



BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN

2.1         Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk mengetahui sejauh mana penelitian mengenai strategi pengembangan baik itu pengembangan suatu daerah atau kawasan menjadi destinasi pariwisata serta penelitian–penelitian yang berkaitan dengan strategi pengembangan lainnya seperti pengembangan daya tarik wisata maupun destinasi pariwisata, terutama yang berkaitan dengan pembangunan atau pengembangan pariwisata berkelanjutan.
14
 
Sejak dilakukan langkah-langkah untuk pengembangan pariwisata di Indonesia, maka kegiatan-kegiatan terencana dan terprogram yang dilakukan oleh pemerintah pada hakekatnya memang bertujuan untuk ‘berkelanjutan’ khususnya di bidang pariwisata misalnya, apa yang dimaksud dengan pembagunan pariwisata berkelanjutan pada intinya berkelanjutan dengan usaha menjamin agar sumber daya alam, sosial dan budaya yang dimanfaatkan untuk pembagunan pariwisata agar dilestarikan untuk generasi mendatang (Ardika, 2003).
Beberapa penelitian sebelumnya seperti; Suya Wirawan (2009), Darsana (2011), Kartimin (2011), Aryasih (2012), dan Jumail (2011) merupakan penelitian–penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi serta yang relevan dengan penelitian tentang strategi pengembangan Kuta   Lombok menjadi destinasi pariwisata berkelanjutan diantaranya adalah penelitian oleh Surya Wirawan (2009) dengan judul penelitian ”Pengembangan Daya Tarik Wisata Bahari Secara Berkelanjutan Di Nusa Lembongan Kabupaten Klungkung”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa bentuk pengembangan daya tarik wisata bahari Nusa Lembongan adalah menitikberatkan pada penataan dan pengembangan infrastruktur dasar, diversifikasi aktivitas dan paket wisata serta fasilitas sanitasi yang mengacu pada ketentuan lingkungan dan berkelanjutan yaitu; dengan merancang sistem zonasi yang dibagi ke dalam beberapa daerah peruntukan (zoning), yaitu: Zona Inti (Zona Konservasi Alam), Zona Buffer (Zona Penerimaan), Zona Pengembangan (Zona Aktivitas Wisata).
Selain oleh Surya Wirawan (2009), penelitian serupa juga di lakukan oleh Darsana (2011) dengan judul “Strategi Pengembangan Daya Tarik Wisata Kawasan Barat Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung”. Penelitian tersebut ditemukan bahwa potensi yang terdapat di kawasan barat Pulau Nusa Penida yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata adalah potensi keindahan alam seperti: pantai, dengan hamparan pasir putihnya dan pemandangan bawah lautnya, wisata relegi dan spiritual, serta pembudidayaan rumput laut. Berdasarkan analisis lingkungan internal dan eksternal pariwisata berada pada posisi sedang oleh sebab itu perlu dipelihara dan dipertahankan, adapun strategi umum yang perlu diterapkan adalah strategi penetrasi pasar dan strategi pengembangan produk.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kartimin (2011) dengan judul penelitian “Strategi Pengembangan Pantai Berawa Sebagai Daya Tarik Wisata Berbasis Kerakyatan Di Kabupaten Badung”. Hasil penelitian Kartimin menunjukan bahwa potensi - potensi yang ada di Pantai Brawa harus memenuhi komponen pariwisata yang dikenal 4A (accessibility, attraction, amenity, dan ancilliary), setelah itu di buatkan strategi pengembangannya dengan menggunakan analisis SWOT dan menentukan program pengembangannya. Penelitian Kartimin adalah pengembangan pantai sebagai daya tarik wisata, tetapi sama-sama menuju pariwisata alam yang dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya lokal. Adapun manfaat dari penelitian Kartimin tersebut adalah bagaimana menerapkan strategi pengembangan daya tarik wisata dengan pendekatan 4A yang meliputi pengembangan produk, peningkatan keamanan, pengembangan sarana dan prasarana pariwisata, melakukan promosi, strategi pembentukan badan pengelola, dan strategi pengembangan sumber daya manusia untuk mendukung pengembangan daya tarik wisata di kawasan barat Pulau Nusa Penida.
Selain itu, penelitian ini juga relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryasih (2012) dengan judul “Strategi Pengembangan Pantai Matahari Terbit Sanur sebagai Destinasi Pariwisata”. Hasilnya menyebutkan bahwa, faktor eksternal mampu memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman. Sedangkan strategi alternatif  yang dirumuskan dalam penelitian Aryasih tersebut diantaranya sebagai berikut: pengembangan paket atraksi wisata berbasisi kerakyatan dan rancangan pariwisata alternatif, berbasis sosial  budaya, kerjasama penataan kawasan berdasarkan kriteria zona-zona peruntukan, penertiban dan pengelolaan kawasan serta meningkatkan dan menjaga citra (image) kawasan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) dari masyarakat lokal, pengembangan sarana pendukung aktivitas pengunjung/ wisatawan, promosi kawasan berkerjasama dengan pemerintah setempat (Kota Denpasar), stakeholder pariwisata, saluran distribusi promosi (media cetak dan elektronik), peningkatan mutu lingkungan fisik dan strategi menjadikan tempat outbound bagi wisatawan dan masyarakat (team building). Untuk mempercepat tercapainya tujuan pengembangan Pantai Matahari Terbit Sanur sebagai Destinasi Pariwisata, perlu adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat lokal dan para pelaku pariwisata lainnya.
Hasil penelitian–penelitian tersebut di atas, merupakan acuan yang relevan dengan penelitian ini, karena memiliki kesamaan terutama dalam hal pengembangan dengan tetap fokus pada prinsip pariwisata berkelanjutan, karena setiap kawasan ataupun destinasi pariwisata memerlukan perencanaan yang baik tanpa kecuali Kuta Lombok untuk menjadi destinasi pariwisata berkelanjutan. Salah satu upaya untuk mewujudkan Kuta Lombok menjadi destinasi pariwisata maka perlu adanya sinergi antara pengembangan dan pencitraan Kuta Lombok itu sendiri agar dapat meningkatkan daya saing suatu daerah dan destinasi pariwisata.
Penelitian terkait pencitraan kawasan pariwisata Kuta Lombok telah di lakukan oleh Jumail pada tahun 2011 dengan Judul “Pencitraan Kawasan Wisata Kuta Lombok Tengah”. Ditemukan bahwa, pencitraan wisatawan (selama-sebelum-setelah) kunjungan menunjukkan adanya trend positif, pencitraan positif mengalami peningkatan dan penurunan terhadap pencitraan negatif. Ternyata, komponen fungsional-psikologis menjadi pola dominan pencitraan kawasan wisata Kuta Lombok Tengah dengan atribut unik-holistik oleh sebagian besar wisatwan asing, sedangkan komponen psikologis-fungsional dengan atribut yang sama ditemukan pada pencitraan wisatawan nusantara. Berdasarkan formasi pencitraan, kawasan wisata Kuta Lombok Tengah banyak dibentuk oleh formasi organic sebagai pencitraan actual sedangkan pencitraan formasi modifikasi belum memberikan kontribuasi signifikan. Aspek yang dijadikan prioritas puncak untuk perbaikan pencitraan adalah aksesibilitas, fasilitas pendukung, kebersihan pantai dan prilaku agrsif pedagang asongan. Penelitian Jumail (2011) dapat dijadikan sebagai kajian pustaka dalam peneltian ini meskipun penelitian  Jumail tersebut hanya fokus pada sebatas pencitraan di kawasan wisata Kuta Lombok Tengah, sedangkan penelitian ini fokus pada strategi pengembangan Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan namun, perlu memperhatikan citra (image) juga sebagai pertimbangan dalam memformulasikan strategi pengembangan sesuai dengan konsep, lanadasan teori dan model penelitian yang relevan.
2.2         Konsep
Dalam suatu penelitian perlu penegasan definisi atau batasan operasional dari setiap istilah atau konsep yang terdapat baik dalam judul penelitian, rumusan masalah penelitian, atau dalam tujuan penelitian. Pemberian definisi atau batasan operasional suatu istilah berguna sebagai sarana komunikasi agar tidak terjadi salah tafsir dan juga mempermudah dalam proses penelitian.   
2.2.1   Strategi Pengembangan
Menurut Marpaung (2000:52) strategi merupakan suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah pada masa depan. Sama halnya dengan Chandler dalam Rangkuti (2002:3) bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Strategi dapat pula diartikan sebagai rencana umum yang integratif yang dirancang untuk memberdayakan organisasi pariwisata untuk mencapai tujuan melalui pemanfaatan sumber daya dengan tepat walaupun menemukan banyak rintangan dari pihak pesaing (Puspa, 2006:18).
Pengembangan merupakan suatu proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu menjadi lebih baik, maju, sempurna dan berguna. Pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa dengan meremajakan atau memelihara yang sudah berkembang agar menjadi lebih menarik dan berkembang (Alwi, et al. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  2005:538).
Menurut Wilson (2001) ada 10 faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan pariwisata di daerah pedesaan (rural areas) yaitu: (1) A complete tourism package (paket wisata lengkap), (2). Good leadership (kepemimpinan yang baik), (3). Support and participation of local government (dukungan dan partisipasi, pemerintah lokal), (4). Sufficient funds for tourism development (dana pengembangan pariwisata yang cukup), (5). Strategic planning (perencanaan strategis), (6). Coordination and cooperation between businesspersons and local leadership (kerjasama antara pengusaha dan pemimpin lokal), (7). Coordination and cooperation between rural tourism entrepreneurs (kerjasama antara pengusaha pariwisata), (8). Information and technical assistance for tourism development and promotion (bantuan informasi dan teknis untuk pengembangan dan promosi pariwisata), (9). Good convention and visitors bureaus (adanya biro konvensi dan pengunjung yang baik), dan (10). Widespread community support for tourism (adanya dukungan seluruh masyarakat terhadap pariwisata).
Gunn (1994:5-9) menyatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata harus melibatkan tiga sektor, yaitu Business Sector (sektor bisnis), Non-profit Sector (sektor non profit) dan Governmental Sector (sektor pemerintah), dan semakin baik pemahaman dan keterlibatan tiga sektor tersebut maka pengembangan pariwisata akan semakin baik. Bisnis Sector adalah sektor usaha yang menyediakan segala keperluan wisatawan seperti jasa transportasi, perhotelan, makanan dan minuman, laundry, hiburan dan sebagainya. Nonprofit Sector merupakan organisasi seperti organisasi pemuda, organisasi profesi, etnis yang tidak berorientasi pada keuntungan (non-profit organisation) namun memiliki peran dan perhatian besar terhadap pengembangan pariwisata. Governmental Sector adalah sektor yang berperan untuk mengeluarkan dan menerapkan Undang-undang dan peraturan. Dalam bidang pariwisata sektor pemerintah telah melakukan banyak peran penting selain regulasi. Dalam pengadaan taman nasional, disamping melindungi alam dan budaya juga telah banyak menarik kunjungan wisatawan.
Berdasarkan beberapa konsep tersebut, maka yang dimaksud dengan strategi pengembangan dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana yang sifatnya komprehensif dan terpadu dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat dan akademisi untuk mengkaji kendala, kondisi lingkungan internal dan eksternal Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan sehingga dapat memformulasikan strategi yang tepat untuk mewujudkan Kuta Lombok menjadi destinasi pariwisata berkelanjutan serta berdaya saing tinggi.
2.2.2   Destinasi Pariwisata
Dalam Undang–undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah tujuan wisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
Destinasi merupakan suatu tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama perjalanan seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang dilalui selama perjalanan (seperti daerah transit). Suatu tempat pasti memiliki batas-batas tertentu baik secara actual maupun hukum. Menurut Ricardson dan Fluker (2004:48), destinasi pariwisata didefinisikan sebagai;
“A significant place visited on a trip, with some form of actual or perceived boundary. The basic geographic unit for the production of tourism statistics”

Destinasi pariwisata dapat digolongkan atau dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri destinasi tersebut, diantaranya sebagai berikut (1) Destinasi sumber daya alam, seperti iklim, pantai, hutan; (2) Destinasi sumber daya budaya, seperti tempat bersejarah, museum, teater, dan masyarakat lokal; (3) Fasilitas rekreasi, seperti taman hiburan; (4) Event, seperti pesta kesenian Bali, pesta danau toba, pasar malam; (5) Aktivitas spesifik, seperti Kasino di Genting Highland Malaysia, wisata belanja di Hongkong; dan (6) Daya tarik psikologis, seperti petualangan, perjalanan romantis, keterpencilan (Kusdianto,1996:8).
Terkait dengan uarain definisi destinasi di atas, maka strategi pengembangan suatu daerah menjadi destinasi pariwisata hendaknya memperhatikan hal-hal yang menjadi kendala, kondisi lingkungan internal dan eksernalnya dalam pengembangannya. Selaian itu, berdasarkan hasil studi beberapa pihak mengenai urutan pentingnya sifat atau ciri dari destinasi menurut wisatawan terangkum dalam Tabel 2.1.
Tabel: 2.1. Daftar Urutan Pentingnya Sifat Destinasi Menurut Wisatawan
Urutan Pentingnya Sifat Destinasi (dari terpenting ke kurang penting)

Hasil Studi Menurut

PATA (1967)
American Express (1977)
PATA (1984) di Hongkong
Dirjen Pariwisata (1993)
1
Masyarakat yang ramah tamah dan hangat
Pemandangan alam yang indah
Pemandangan alam yang indah
Pemandangan alam yang indah
2
Akomodasi nyaman
Sikap ramah penduduk lokal
Masyarakat yang ramah dan hormat
Kehidupan alam yang indah
3
Pemandangan indah
Akomodasi layak
Akomodasi yang baik dan modern
Kebudayaan masyarakat tradisional
4
Harga-harga layak
Istirahat dan santai
Tidak mahal untuk dikunjungi
Kerajinan dan kesenian
5
Adat-istiadat kehidupan masyarakat
Tarif penerbangan
Stabilitas politik Negara yang dikunjungi
Pantai
Sumber: diadaptasi dari Kusdiantoro (1996:20)
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa pemandangan alam yang indah menempati urutan pertama terpenting dari destinasi pariwisata. Demikian halnya juga dalam pengembangan Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan, perlu mempertimbangkan unsur keindahan alamnya sebagai potensi dan daya tarik yang dapat mendukung pengembangannya termasuk yang menjadi kendala, serta kondisi lingkungan internal dan eksternalnya.
2.2.3   Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan merupakan pengembangan pariwisata yang sangat diharapkan pembangunan serta pengembangannya baik itu oleh pemerintah, para pelaku wisata (stakeholder) maupun masyarakat itu sendiri. Berbagai kajian tentang pariwisata berkelanjutan telah dilakukan seperti; Milazi (1996: 31), Joemail (2011:20), Dodds and Butler (2010 : 38-39), Cascante, dkk ( 2010: 738), Farsari (2005:4), Wen Wu (2009 : 10), Arida (2009: 16), dan masih banyak lagi para ahli lainya. Namun, dapat disimpulkan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata harus ramah lingkungan dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh United  Nation (2007 : 29-30) pada Komisi Pengembangan Berkelanjutan  memberikan beberapa indikator-indikator penting untuk pembangunan secara berkelanjutan diantaranya sebagai berikut: (1) Terutama dalam ruang lingkup nasional, (2) Relevan untuk menilai pembangunan berkelanjutan, (3) Terbatas dalam jumlah dan tetap terbuka, (4) Disesuaikan dengan kebutuhan masa depan, (5) Mencakup semua aspek pada agenda abad 21 untuk pebangunan berkelanjutan, (6) Bisa dimengerti, jelas dan tidak ambigu, (7) Konsepnya jelas, (8) Sedapat mungkin mewakili konsesus internasional, (9) Kemampuan pemerintah nasional untuk mengembangkanya, dan (10) Sangat tergantung pada biaya dan kualitas data yang dimiliki.
Pariwisata berkelanjutan pada hakekatnya adalah kegiatan kepariwisataan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sumber daya alam (ekologi) dan sosial budaya pada destinasi pariwisata tersebut. Undang–undang No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pada pasal 2 menyatakan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas keberlanjutan, asas kelestarian, dan asas partisipatif.
Ada tiga (3) aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu: aspek ekonomi mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengubah pola produksi serta konsumsi ke arah yang seimbang. Aspek sosial budaya mengenai upaya penyelesaian masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, kesehatan masyarakat, pendidikan dan lain-lain. Aspek lingkungan mengenai upaya konservasi dan preservasi sumber daya alam, serta pengurangan dan pencegahan polusi maupun limbah (Ridwan, 2012:40).
Brundtland (1987) dalam Ridwan (2012) menyimpulkan bahwa, pembangunan harus diorientasikan pada keberlanjutan agar pembangunan tidak hanya dinikmati oleh generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi selanjutnya, dan harus mengupayakan kerjasama yang baik dikarenakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak bisa ditangani secara single authority, begitu juga halnya dengan pengembangan atau pembangunan pariwisata berkelanjutan termasuk di dalamnya destinasi pariwisata.
2.2.4   Potensi dan Daya Tarik Wisata
1        Potensi
Potensi menurut beberapa penulis seperti Pendit (1999: 21) menerangkan bahwa potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat di sebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata, dengan kata lain potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu tempat dan dapat dikembangkan menjadi suatu atraksi wisata (tourist attraction) yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya. Potensi menurut Kamus Besar Bahasa indonesia (2007: 890) adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kesanggupan; kekuatan; daya.
Menurut Suarka (2010:23) potensi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat disuatu daerah yang dikembangkan menjadi daya tarik wisata, potensi tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu;
1        Potensi Budaya, yang dimaksud dengan potensi budaya merupakan potensi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat seperti adat – istiadat, mata pencaharian dan kesenian.
2        Potensi Alamiah, merupakan potensi yang ada di masyarakat yang berupa potensi fisik dan geografis alam.
Selain itu, Wisnawa (2011) juga menjelaskan bahwa  potensi wisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik sebuah obyek wisata. Dalam penelitian tersebut, potensi wisata dibagi menjadi tiga macam, yaitu: potensi alam, potensi kebudayaan dan potensi manusia, sebagaimana yang diuraikan berikut:
1        Potensi Alam.
Yang dimaksud dengan potensi alam adalah keadaan dan jenis flora dan fauna suatu daerah, bentang alam suatu daerah, misalnya pantai, hutan, dan lain-lain (keadaan fisik suatu daerah). Kelebihan dan keunikan yang dimiliki oleh alam jika dikembangkan dengan memperhatikan keadaan lingkungan sekitarnya niscaya akan menarik wisatawan untuk berkunjung ke obyek (daya tarik wisata) tersebut.
2         Potensi Kebudayaan
Potensi budaya adalah semua hasil cipta, rasa dan karsa manusia baik berupa adat istiadat, kerajinan tangan, kesenian, peninggalan bersejarah nenek moyang berupa bangunan, monument, dan lain-lain.
3        Potensi Manusia
Manusia juga memiliki potensi yang dapat digunakan sebagai daya tarik wisata baik itu potensi yang langsung atau tidak langsung berdampak pada pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Oleh sebab itu, potensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah potensi fisik dan potensi non fiisik Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan termasuk di dalamnya adalah potensi sumber daya maunusia (SDM) yang mendukung pengembangan tersebut agar sesuai harapan.
2        Daya Tarik Wisata
Undang-undang Republik Indonesia (RI) nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Keadaan alam, flora dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang–undang  Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Daya tarik atau atraksi wisata menurut Yoeti (2002:5) adalah segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata  seperti; (a) Atraksi Alam: pemandangan, pemandangan laut, pantai, cuaca dan keadaan geografis destinasi tersebut (Natural attraction: landscape, seascape, beaches, climate and other geographical features of the destinations), (b) Atraksi Budaya: sejarah dan folklore, agama, kesenian dan kegiatan khusus, festival (Cultural attraction: history and folklore, religion, art and special events, festivals), (c) Atraksi Sosial: tradisi (cara hidup), populasi penduduk, bahasa, kesempatan berbaur dalam kehidupan sosial (Social attractions: the way of life, the resident populations, languages, opportunities for social encounters), (d) Aktraksi Buatan: gedung bersejarah dan arsitektur modern, monumen, taman, kebun, pelabuhan dan sebagainya (Built attraction: building, historic, and modern architecture, monument, parks, gardens,marina,etc).
Sebagai sebuah kawasan wisata ataupun destinasi pariwisata yang akan dikembangankan menuju pembanguanan pariwisata berkelajutan tentu harus melihat potensi dan daya tariwk wisata yang ada. Potensi  dan daya tarik dalam kepariwsataan dapat diartikan sebagai modal atau aset yang dimiliki suatu daerah tujuan wisata (destinasi pariwisata) dan dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan ekonomi yang secara ideal terangkum di dalamnya perhatian terhadap aspek-aspek budaya.
Menurut Yoeti (2006:55-56) daya tarik wisata dibagi menjadi empat (4) bagian yaitu;
1      Daya Tarik Wisata Alam, yang meliputi pemandangan alam, laut,  pantai dan pemandangan alam lainnya.
2      Daya Tarik Wisata dalam bentuk Bangunan, yang meliputi arsitektur bersejarah dan modern, monumen, peninggalan arkeologi, lapangan golf, toko dan tempat-tempat perbelanjaan lainnya.
3      Daya Tarik Wisata Budaya, yang meliputi sejarah, foklor, agama, seni, teater, hiburan, dan museum.
4      Daya Tarik Wisata Sosial, yang meliputi cara hidup masyarakat setempat, bahasa, kegiatan sosial masyarakat, fasilitas dan pelayanan masyarakat.
Selain 4 (empat) komponen tersebut, daya tarik wisata juga harus memiliki komponen aksesibilitas dan amenitas (Damanik dan Weber, 2006:12). Aksesibilitas mencakup sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan daya tarik wisata yang satu dengan daya tarik wisata yang lain di daerah tujuan wisata mulai dari transportasi darat, laut dan udara. Aksesibilitas juga mencakup peraturan atau regulasi pemerintah yang mengatur tentang rute dan tarif angkutan. Amenitas adalah infrastruktur yang menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti fasilitas akomodasi, restoran, bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha penyewaan (rental), olahraga, informasi, dan lain sebagainya.
Menurut Damanik dan Weber (2006:13) daya tarik wisata yang baik sangat terkait dengan empat hal, yakni memiliki keunikan, orijinalitas, otentisitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan kekhasan yang melekat pada suatu daya tarik wisata. Orijinalitas (keaslian) mencerminkan keaslian atau kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi atau tidak mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengacu pada keaslian. Bedanya dengan orijinalitas, otentisitas lebih sering dikaitkan dengan tingkat keantikan atau eksotisme budaya sebagai daya tarik wisata. Otentisitas merupakan kategori nilai yang memadukan sifat alamiah, eksotis, dan bersahaja
2.3         Landasan Teori
Dalam mengkaji permasahan yang berkaitan dengan penelitian strategi pengembangan destinasi pariwisata, diperlukan berbagai teori yang ada relevansinya dengan penelitian tersebut, adapun teori yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah teori perencanaan dan siklus hidup destinasi.
2.3.1   Teori Perencanaan
Perencanaan merupakan pengorganisasian masa depan untuk mencapai tujuan tertentu (Inskeep, 1991). Menurut Sujarto (1986) dalam Paturusi, definisi perencanaan adalah suatu usaha untuk memikirkan masa depan (cita-cita) secara rasional dan sistematik dengan cara memanfaatkan sumber daya yang ada serta seefesien dan se-efektif mungkin.
Suatu perencanaan memiliki syarat-syarat sebagai berikut; (a) Logis, yaitu bisa dimengerti dan sesuai dengan kenyataan yang berlaku, (b) Luwes, yaitu dapat mengikuti perkembangan, dan (c) Obyektif, yaitu didasarkan pada tujuan dan sasaran yang dilandasi pertimbangan yang sistematis dan ilmiah (Paturusi, 2008).
Selain itu juga Paturusi (2008) mengemukakan orientasi perencanaan ada dua bentuk yaitu;
1      Perencanaan berdasarkan pada kecenderungan yang ada (trend oriented planning) yaitu suatu perencanaan untuk mencapai tujuan dan sasaran di masa yang akan datang, dilandasi oleh pertimbangan dan tata laku yang ada dan berkembang saat ini.
2      Perencanaan berdasarkan pertimbangan target (target oriented planning) yaitu suatu perencanaan yang mana tujuan dan sasaran yang ingin dicapai di masa yang akan datang merupakan merupakan faktor penentu.
Menurut Yoeti (1997), komponen dasar pengembangan pariwisata di dalam proses perencanaan adalah sebagai berikut; (a) Atraksi wisata dan aktivitasnya, (b) Fasilitas akomodasi dan pelayanan, (c) Fasilitas wisatawan lainnya dan jasa seperti : operasi perjalanan wisata, tourism information, restoran, retail shopping, bank, money changer, medical care, public safety dan pelayanan pos, (d) Fasilitas dan pelayanan transportasi, (e) Infrastruktur lainnya meliputi persediaan air, listrik, pembuangan limbanh dan telekomunikasi, dan (f) Elemen kelembagaan yang meliputi program pemasaran, pendidikan dan pelatihan, perundang-undangan dan peraturan, kebijakan investasi sektor swasta, organisasi struktural private dan public serta program sosial ekonomi dan lingkungan.
Perencanaan pariwisata merupakan suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu daerah tujuan wisata atau atraksi wisata yang merupakan suatu proses dinamis penentuan tujuan, yang secara sistematis mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, implementasi terhadap alternatif terpilih dan evaluasi. Proses perencanaan pariwisata dengan melihat lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, politik) sebagai suatu komponen yang saling terkait dan saling tergantung satu dengan lainnya (Paturusi, 2008).
Perencanaan adalah suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau atraksi wisata. Ini merupakan suatu proses dinamis dalam penentuan tujuan, yang secara bersistem mempertimbangkan berbagai alternatif tindakan untuk mencapai tujuan serta implementasinya terhadap alternatif yang dipilih dan evaluasinya. Proses perencanaan mempertimbangkan lingkungan politik, fisik, sosial, dan ekonomi sebagai suatu komponen yang saling terkait dan tergantung dengan yang lainnya (Paturusi, 2008:26).
Menurut Inskeep (1991:29), ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam perencanaan pariwisata:
1      Pendekatan Berkelanjutan, Meningkat, dan Fleksibel.
Walaupun masih berupa kebijakan dan rencana, pariwisata harus dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai kebutuhan dan berdasarkan monitor dan umpan balik (feedback) dalam rangka mempertahankan tujuan dan kebijakan pengembangan pariwisata.
2      Pendekatan Sistem.
Pariwisata dipandang sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan harus dikembangkan dengan menggunakan teknik analisis sistem.
3      Pendekatan Komprehensif.
Semua aspek pengembangan pariwisata termasuk lembaga, dampak lingkungan dan sosial-ekonomi harus dianalisa dan direncanakan secara komprehensif atau holistik.
4      Pendekatan Terintegrasi.
Pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai suatu sistem yang terintegrasi dengan perencanaan dan pengembangan wilayah secara keseluruhan.
5      Pendekatan Pengembangan Lingkungan yang Berkelanjutan.
Pariwisata dikembangkan dengan terencana dan dikelola dengan baik sehingga tidak mengakibatkan degradasi sumber daya alam dan budaya, tetapi sebaliknya pariwisata dapat menjaga keberkelanjutan sumber daya secara permanen. Dalam hal ini teknik analisis daya dukung sangat penting digunakan untuk mengukur tingkat keberlanjutan tersebut.
6      Pendekatan masyarakat.
Keterlibatan dan partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan dan pengelolaan pariwisata secara maksimum mutlak dilakukan.
7      Pendekatan Implementasi.
Kebijakan, perencanaan, dan rekomendasi pengembangan pariwisata direalisasikan secara realistis dengan teknik-teknik implementasi melalui program pengembangan atau strategi yang tepat.
8      Aplikasi proses Perencanaan yang Sistematis.
Proses perencanaan ini diterapkan dalam perencanaan pariwisata berdasarkan atas urutan yang logis.
Menurut Gunn (1994:60) ada beberapa konsep yang perlu diperhatikan dalam perencanaan daya tarik wisata, di antaranya;
1      Penciptaan dan Pengelolaan Daya Tarik Wisata.
Suatu kesalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan daya tarik wisata adalah penetapan daya tarik wisata yang terlalu prematur. Sebelum ada pengelolaan yang baik daya tarik wisata belum dapat difungsikan dan dipromosikan karena dengan kunjungan wisatawan yang membludak akan dapat merusak sumber-sumber daya yang ada. Selain daya tarik wisata, perlu juga diperhitungkan pengelolaan terhadap sarana pariwisata yang lain seperti tempat parkir, tour dan interpretasi.
2      Pengelompokan Daya Tarik Wisata.
Sebuah data tarik wisata yang lokasinya jauh memerlukan banyak waktu dan biaya untuk mencapainya sehingga menjadi kurang diminati wisatawan.
Sistem pariwisata masal seperti kereta api cepat dan transportasi udara mengharuskan wisatawan berhenti dan melanjutkan perjalanan sebelum puas menikmati daya tarik wisata yang sedang dikunjungi dengan baik. Alat-alat transportasi ini juga mendorong perencanaan beberapa daya tarik wisata harus berdekatan. Karena itu kunjungan ke daya tarik wisata utama sebaiknya dikelompokkan atau digabung dengan daya tarik wisata pelengkap yang lain. Misalnya adalah kunjungan ke Taman Nasional sebagai atraksi utama, menawarkan banyak atraksi wisata alam pelengkap seperti pemandangan, hiking, konservasi kehidupan liar, topografi yang menantang dan tempat rekreasi di luar ruangan.
3      Gabungan Atraksi dan Pelayanan.
Meskipun daya tarik wisata merupakan porsi utama dalam sebuah pengalaman perjalanan, tetapi daya tarik wisata tetap memerlukan dukungan pelayanan. Misalnya, dalam perencanaan sebuah taman terasa kurang lengkap apabila tidak memperhitungkan pelayanan pendukung seperti akomodasi dan restauran, dan pelayanan pelengkap seperti penjualan film, obat-obatan dan cinderamata. Oleh karena itu, daya tarik wisata yang agak jauh atau terpencil minimal menyediakan pelayanan makanan, toilet dan pusat-pusat pelayanan pengunjung (visitor centers).
4      Lokasi Daya Tarik Wisata ada di Daerah Pedesaan dan Perkotaan.
Daerah terpencil dan kota-kota kecil memiliki aset yang dapat mendukung pengembangan daya tarik wisata karena beberapa segmen pasar ada yang lebih menyukai suasana kedamaian dan ketenangan di daerah pedesaan, karena itu ke depan perlu dilakukan perencanaan dan kontrol terhadap daya tarik wisata yang masih alami seperti perkebunan dan jalan-jalan pelosok pedesaan yang masih alami. Tempat–tempat ini cocok untuk pengembangan pariwisata alam maupun budaya, selain itu perlu penggabungan daya tarik wisata perkotaan dan pedesaan menjadi sebuah paket perjalanan.
Menurut Ridwan (2012:39-52) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) pendekatan perencanaan pengembangan pariwisata yang perlu diketahui dan diaplikasikan dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata, yaitu: (1) Pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal, (2) Pendekatan berkelanjutan, (3) Pendekatan kesisteman, (4) Pendekatan kewilayahan, dan (5) Pendekatan dari sisi Penawaran (supply) dan Permintaan (demand).
Salah satu pendekatan yang perlu daplikasikan dalam pengembangan Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan adalah pendekatan penawaran dan permintaan (supply and demand) selain beberapa pendekatan yang seperti yang diuraikan diatas. Pendekatan tersebut diperlukan untuk menunjang keberlanjutannya. Sebab, dalam pengembangan destinasi pariwisata pada dasarnya adalah mencari titik temu anatara penawaran dan permintaan. Oleh karena itu, dalam melakukan perencanaan dalam pengembangan destinasi pariwisata seharusnya terlebih dahulu mengidentifikasikan produk wisata (Penawaran) yang ada di destinasi dan pasar wisatawan (Permintaan), baik yang aktual maupun potensial kemudian dilakukan suatu analisis terhadap kedua aspek tersebut, sehingga titik temu dari kedua aspek tersebut tercapai. Maka dengan demikian produk wisata yang akan dijual sesuai dengan permintaan (kebutuhan dan keinginan wisatawan).
Richardson dan Fluker (2004) dalam Pitana (2005:66) mengatakan bahwa keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor-faktor pendorong (push factors) dan faktor-faktor penarik (pull factors). Faktor pendorong dan penarik ini merupakan faktor internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan. Faktor pendorong umumnya bersifat sosial-psikologis (person-specific motivation), sedangkan faktor penarik merupakan destination-specific attributes.
Menurut Damanik dan Weber (2006:2-14), dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari unsur permintaan dan penawaran antara wisatawan dan daerah tujuan wisata (destinasi pariwisata). Kedua unsur ini ibarat mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa permintaan wisatawan, segala macam daya tarik wisata yang ada tidak akan ada gunanya, dan sebaliknya tanpa daya tarik wisata, wisatawan tidak akan ada tempat untuk melakukan perjalanan wisata.
Awalnya permintaan wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketersediaan waktu luang dan peningkatan pendapatan. Semakin banyaknya waktu luang dan pendapatan akan meningkatkan keinginan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Diikuti dengan kemajuan teknologi tranportasi darat, laut dan udara yang semakin aman, nyaman dan murah dapat meningkatkan kemampuan masyarakat kelas bawah dan menengah masuk ke dalam pasar transportasi udara. Hal ini sangat sesuai dengan teori permintaan dan penawaran yang menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu produk maka semakin banyak produk yang dibeli oleh konsumen (Tasman dan Aima, 2005:12). Sebagai dampaknya, saat ini pariwisata bukan hanya konsumsi eksklusif para pengusaha, petinggi negara dan daerah, kalangan elit dan selebritis, tetapi juga konsumsi orang-orang desa yang memiliki distribusi pekerjaan dan pendapatan yang semakin baik.
Permintaan wisatawan tanpa ada penawaran dan pelayanan dari daerah tujuan wisata belum cukup menjamin perjalanan wisata. Penawaran wisata adalah menyangkut semua produk yang ditawarkan kepada wisatawan, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan atau menkonsumsi produk tersebut. Pelayanan pariwisata biasanya tidak tampak (intangible), bahkan seringkali tidak dirasakan. Mulai dari pembersihan kamar hotel yang dilakukan oleh staf room service, aneka hidangan dan cara penyajiannya yang dilakukan oleh staf food and beverage sampai penyediaan informasi di Tourist Information Centre, semuanya merupakan bentuk jasa penawaran pariwisata (Damanik dan Weber, 2006:11).
Menurut Gunn (1994:57), daya tarik wisata (attraction) merupakan komponen yang paling kuat dalam penawaran daerah tujuan wisata. Daya tarik wisata merupakan energi yang dapat memberikan kekuatan dan dorongan terhadap wisatawan untuk melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata. Selain itu, daya tarik wisata dapat memberikan daya pikat atau stimulus terhadap motivasi perjalanan wisata dan memberikan kepuasan atau hadiah atas perjalanan yang dilakukan wisatawan. Di lain pihak, pelayanan pariwisata hanya merupakan fasilitator dan bukan sebagai alasan utama perjalanan wisatawan karena tanpa daya tarik wisata, pelayanan pariwisata mungkin tidak akan dibutuhkan.
2.3.2   Siklus Hidup Destinasi
Siklus hidup destinasi terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap pengenalan (introduction) hingga peremajaan (rejuvenation). Richardson dan Fluker (2004:51) mengemukakan bahwa;
“A model that characterises each stage in the lifecycle of a destination (and destination areas and resort area) including introduction, growth, maturity, and decline and/ or rejuvenation”

Destinasi berjalan menurut siklus evolusi yang terdiri dari tahap pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), pendewasaan (maturity), penurunan (decline) dan atau peremajaan (rejuvenation).  Tujuan utama dari penggunaan model siklus hidup destinasi (destination lifecycle model) adalah sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan destinasi pariwisata sekaligus untuk mengetahui tahapan pengembangan destinasi pariwisata itu sendiri.  
Butler (1980) mengemukakan bahwa terdapat 6 (enam) tahapan pengembangan pariwisata berkelanjuatan yang membawa implikasi serta dampak yang berbeda terhadap pariwisata sebagai berikut:
1      Tahap Explorasi , pertumbuhan spontan dan penjajakan (Exploration)
Pada tahap ini jumlah wisatawan masih relatif kecil. Mereka cenderung dihadapkan pada kondisi alam yang masih alami dan budaya masyarakat yang masih alami pada daerah tujuan wisata. Atraksi wisata belum berubah dan kontak masyarkat relative tinggi.
2      Tahap Keterlibatan (Involment)
Pada tahap ini mulai adanya inisiatif masyarakat lokal untuk menyediakan fasilitas wisata, kemudian promosi daerah wisata dimulai yang dibantu oleh pemerintah derah setempat. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan.
3      Tahap Pengembangan dan Pembangunan (Development)
Pada tahap ini jumlah kunjungan wisatawan meningkat tajam, pada musim puncak wisatawan biasanya menyamai bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. sejalan dengan meningkatnya jumlah dan pupularitas daerah wisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara nasional dan regional dibutuhkan , bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional.
4      Tahap Konsolidasi (Consolidation)
Pada tahap ini tingkat pertumbuhan wisatawan mulai menurun, wlaupun total jumlah wisatawan masih relative meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecendrungan terjadinya monopoli yang sangat kuat.
5      Tahap Ketidakstabilan (Stagnation)
Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang pada puncaknya, wisatawan sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini didasari bahawa kunjungan ulang wisatawan dan pemamfaatan bisnis dan komponen-komponen pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan budaya serta ekonomi.
6      Tahap Penurunan Kualitas (Decline) dan Kelahiran Baru (Rejuvenation)
Pada tahap Decline, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula menjadi “resort” baru. Resort menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan.  Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah dan fasilitas–fasilitas pariwisata, seperti akomodasi dan akan berubah pemamfaatanya. Akhirnya pengambilan kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai”kelahiran baru”. Selanjutnya terjadinya kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang, seperti pemafaatan, pemasaran, saluran distribusi dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata (destinasi pariwisata) tersebut.







Gambar. 2.2. A Tourism Area Cycle Of Evolution
Sumber: Butler, 1980
Selain itu, sebagai penjelasan tambahan dalam siklus hidup destinasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Butler (1980) dalam siklus hidup destinasi (destination life cycle), pada siklus ke-6 (enam) yaitu tahap yang disebut juga sebagai tahap Post-stagnation selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 lagi yaitu; tahap Decline dan Rejuvenation (Pitana dan Diarta, 2009: 132-133).
Pada tahap Decline, wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non-pariwisata. Atraksi wisata menjadi semakin kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat lokal mungkin meningkat seiring penurunan harga fasilitas pariwisata dan penurunan pasar wisatawan. Daerah destinasi menjadi terdegradasi kualitasnya, kumuh dan fasilitasnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata.
Sedangkan pada tahap Rejuvenation, terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya pariwisata. Terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artifisial baru atau penggunaan sumber daya alam yang tidak tereksploitasi sebelumnya.
Berdasarkan beberapa tahapan siklus hidup destinas tersebut (destination life cycle) posisi Kuta Lombok berada pada tahap keterlibatan (involment) artinya bahwa kepariwisataan di Kuta Lombok masih belum berkembang. Pada keterlibatan tersebut ditandai dengan adanya inisiatif masyarakat lokal untuk menyediakan fasilitas pariwisata dan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan meskipun hal tersebut tidak signifikan.
  
2.4         Model Penelitian
Pengembagan suatu daerah atapun kawasan harus berdasarkan potensi yang ada, seperti potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan potensi dalam bentuk daya tarik wisata baik berupa daya tarik wisata alam maupun sosial budaya yang dimilki oleh suatu daerah atau kawasan tersebut. Penelitian tentang strategi pengembangan Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan, di Desa Kuta Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat memberikan suatu solusi untuk memecahan permasalahan–permasalahan terkait.
Untuk melakukan analisis atapun kajian terhadap masalah tersebut, maka faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan tersebut perlu dikaji, aspek serta kondisi lingkungan internal dan eksternal terhadap potensi  daya tarik wisata yang ada di Kuta Lombok. Seperti halnya sebuah daerah atau kawasan pada umumnya, tentunya memiliki faktor lingkungan yang dapat dipisahkan menjadi 2 dua bagian yaitu; (1) lingkungan bagian dari kawasan yang disebut lingkungan internal, dan (2) lingkungan bagian luar kawasan yang disebut lingkungan eksternal. Lingkungan internal terdiri dari kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), dan lingkungan eksternal terdiri dari peluang (opportunity) dan ancaman (treath).
Masing–masing kekuatan dan kelemahan pada lingkungan internal serta peluang dan ancaman pada lingkungan eksternal jika diidentifikasi terdiri atas faktor–faktor. Selanjutnya dengan bantuan alat analisis matrik SWOT,  maka dapat dibuatkan kombinasi faktor–faktor  internal dan eksternal serta apa saja potensi dan daya tarik serta kendala dalam pengembangannya, dalam bentuk matrik SWOT, dari matrik ini dapat dirumuskan berbagai alternatif strategi pengembangan di Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan.
Menurut Kottler (1996) dari alternatif strategi dapat dirumuskan program – program  yang merupakan operasionalisasi dari setiap strategi umum (grand strategy). Mengacu kepada pendekatan pariwisata berkelanjutan akhirnya dari strategi umum atau pun program pengembangan dapat dibuat rekomendasi kepada instansi berwenang atau para pemangku kepentingan (stakeholder) yang bergerak di bidang kepariwisataan serta keterlibatan masyarakat lokal dalam usaha menunjang pemerataan pembangunan kepariwisataan di Desa Kuta (Kuta Lombok), Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah, sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.



















 























Gambar: 2.3. Model Penelitian